Langsung ke konten utama

Dia Yang Ku Panggil Sayang Dengan Mesra

Dia si anak keras kepala dan si tukang ngegas. Begitulah aku menggambarkannya. Sosok laki-laki yang tak pernah terpikir olehku akan hadir mengisi sepinya hati. Tidak banyak yang istimewa tapi dengannya aku belajar tentang sabar dan mengalah. Bayangkan, aku yang tidak suka mengalah dan berjiwa bebas berakhir dewasa. Tapi dia adalah orang yang ku panggil sayang dengan penuh kehangatan.


Aku selalu menunggu kabarnya, setiap hari. Aku ingin tau apa yang ia lakukan hari ini, apa yang membuatnya kesal, selalu ingin tau apa yang ia makan, dan bagaimana lelahnya ia bekerja hari itu. Terlihat membosankan, tapi bagiku penting.


Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkannya, ada segala macam kecemasan yang menghantuinya. Menjadi dia tidaklah mudah.


Aku memandangi wajah laki-laki itu dengan perasaan gundah. Bertanya-tanya ada apa dengan raut wajahnya itu. Apa yang sedang ia pikirkan? Kenapa selalu terlihat cemas? Dengan raut wajah itu aku tau bahwa otaknya tidak pernah berhenti berpikir. Rasanya ingin aku berkata ; “Tenang, semua tidak serumit yang kamu pikirkan”.


Tapi kata-kata tak semudah kenyataan. Ada berbagai macam permasalahan hidup yang dia hadapi. Dengan pundak yang penuh tanggung jawab, ia selalu mencoba kuat dan terlihat baik-baik saja. Keinginan yang selalu ia kubur, selalu menomor satukan keluarga, dia si tulang punggung yang kuat.


Dia selalu mencemaskan masa depan yang kita semua nggak ada yang tau. Tapi baginya semua harus dipikirkan dengan seksama. Ia tak ingin ada cela. Begitulah dia, sosok laki-laki kaku dan tidak fleksibel itu.


Adakalanya ia kesepian. Tidak tau harus berbuat apa ketika harinya senggang. Yang ia lakukan hanya berdiam diri, membaringkan badan, dan menatap layar handphone dengan sesekali membalas pesan singkatku. Disaat itulah terkadang aku merasa tidak berguna, tidak tau harus seperti apa. Kadang aku berharap bisa memberi kesan yang baik, namun semua terhalang oleh jarak dan waktu. Ini sudah tidak benar, aku lebih mengkhawatirkannya daripada diriku sendiri, ini salah.


Dia suka menghindar saat berdebat. Padahal berdebat bukan untuk mencari siapa salah dan benar. Tapi untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Begitulah dia, laki-laki keras kepala. Selalu ingin dimengerti, ingin menerima lebih banyak cinta tapi tak pernah mengumbar cinta. Sayangnya tak pernah terlihat. Mungkin dia pikir dengan memberi kabar setiap hari sudah cukup untuk sebuah bukti cinta. Padahal wanita selalu ingin lebih. Cinta yang kutunjukkan ternyata tak membuatnya belajar banyak. Sungguh dia termasuk golongan laki-laki tidak peka.


Melihat panggilan masuk darinya membuat hatiku bergetar. Aku suka mendengar suaranya. Setiap nada bicaranya selalu ku dengar dengan penuh rasa rindu. Rasanya ingin ku dengar nada bicara itu setiap hari. Apa daya, menelpon hanya untuk sekedar ngobrol santai pun jarang. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Dia tak sehangat dulu. Dulu sekali, aku rindu saat awal-awal mengenalnya.


Dia sedikit egois, tidak mau mengalah, gengsinya tinggi, dan tidak punya inisiatif sama sekali dalam hal apapun. Yang dia tau hanya bagaimana cara bertahan hidup, tetap kuat walau sedang diterjang badai, siap siaga menjadi pahlawan kesiangan. Sesekali aku ingin membuatnya beristirahat. Duduk dan bersandar sebentar saja dipundakku, sambil berkata ; “bersantailah, dunia tidak berhenti berputar hanya karena kamu beristirahat sebentar.”


Pernah ada sebuah momen ketika aku menghabiskan waktu bersamanya seharian. Aku suka saat tanganku digandeng olehnya. Aku juga suka ketika dia tersenyum hangat kepadaku. Aku bahagia saat dia melepaskan jaket yang dipakainya untuk memberiku sebuah kehangatan. Dan yang paling aku suka adalah saat bermanja-manja denganku. Hal kecil, tapi penuh makna. Yang aku inginkan darinya sederhana — menghabiskan waktu bersama.


Ketika dia menyuruhku untuk memilih makanan apa saja saat berada di pasar aku menolak. Bukan tidak suka makan, tapi aku takut terlalu banyak menghabiskan uangnya. Aku memperhatikannya, dia banyak berpikir, dan aku merasa serba salah. Sesungguhnya aku ingin berlama-lama berada di tempat itu menghabiskan sisa waktu bersamanya. Kalau bisa mengulang waktu, aku ingin balik dan menghabiskan banyak uang disana.


Ini yang dia lakukan setiap bertemu orang lain; tersenyum walau kenyataannya sedang tidak baik-baik saja. Memanipulasi kesedihan dengan tawa. Ia menganggap wajar, padahal hatinya lemah. Jika bertemu, aku ingin segera memeluknya dan berkata; “aku bangga bersamamu…”


— 31 maret 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dulu...

Dulu, aku punya seorang Ayah yang ku panggil Papa... Terlahir sebagai anaknya, aku merasa bangga. Memiliki sosok Papa yang sangat luar biasa, aku merasa menjadi anak yang paling istimewa. "Kamu anak siapa?" "Ohh kamu anaknya si fulan, ya? Wahh saya kenal baik dengan beliau." "Pantas saja namamu tak asing. Ternyata kamu anaknya si fulan..." Selalu begitu, dimana pun, dan kapan pun. Dulu, karena beliau aku suka nonton bola. Club favoritku adalah Persija. Ya, aku pernah menjadi the jack mania . Pemain kesukaanku adalah Bambang Pamungkas. Setiap pulang sekolah aku selalu menonton pertandingan bersama Papa. Tidak banyak bicara, namun sangat manis. Aku ingat Papa pernah memergoki ku membaca sebuah buku novel. Aku dimarahi karena dianggap belum cukup umur untuk membaca novel percintaan. Tapi mama membela dan Papa tetap tidak memperbolehkan. Lucu memang, tapi sangat manis. Ada juga momen yang paling ku ingat. Ketika aku baru saja sampai dirumah dari perjalanan ja...

576 Days

Aku hanya belum terbiasa sendiri tanpamu, setelah sekian lama aku terus bersamamu membuatku tak sanggup melepaskan semuanya. Tidak, aku harus sanggup. Bagaimanapun caranya aku harus mampu. Karena semuanya sudah tak seimbang. Aku bertahan hanya karena egoku yang tetap mencintainya sedangkan ada satu pihak yang tak seperti itu. Sesungguhnya itu adalah kode dimana kita disuruh untuk pergi. Pada dasarnya semua ini masih bisa berjalan mulus, hanya saja yang dicintai tak lagi mencintai. Hehe, semua sudah menjadi cerita. Cerita yang akan menjadi kenangan, yang selalu kutanamkan dalam hati bahwa aku pernah sangat mencintaimu. Aku sadar semua tak akan bisa menjadi baik, semua akan menjadi buruk. Ketika aku tahu bahwa kau pergi jauh dan tak kembali, tentu itu sangat membuatku terluka. Tapi mau tak mau aku harus merelakannya. Tentu saja merelakan kau pergi bersama orang yang saat ini membuat kau nyaman. Mungkin nyamannya lebih baik dari nyamanku. Sehingga kau pergi dan tak lagi memandangku....